Sejarah Injil Masuk di Lemba Balim, Papua |
Wah…wah......itulah ungkapan khas dari Lembah Balim, tempat buku ini disusun yang saat ini akan dibedah. Kami senang karena semua sudah datang untuk berdiskusi dalam acara ini, peluncuran buku sejarah gereja katolik. Trimakasih atas plihan dan kesediaan menggunakan tempat ini sebagai pembedah buku.
Tutur Ketua Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Fajar Timur Abepura P.Dr. Neles Tebay,Pr dalam kegiatan peluncuran dan
pembedaan buku Sejarah Gereja katolik di Lembah Baliem Papua karya PATER FRANS
LIESHOUT OFM; Rabu 14 April 2010 di Aula St. Yoseph STFT Fajar Timur Abepura
Papua. Moderator yang mengawasi jalan kegiatan ilmiah ini adalah Drs.Abdon
Bisei M.Hum dengan pembedah I Pater Frans Lieshout OFM dan pembedah II Pater
Wilhelmus Gonsalit Saur OFM. Hadir dalam kegiatan ini wakil dari pemerintah
Propinsi Papua ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alua, segenap masyarakat
Balim yang berada di Kota Jayapura, pengurus OMK dari beberapa paroki di kota
Jayapura, suster DSY dan para dosen beserta segenap mahasiswa STFT Fajar Timur.
Menurut P. Dr. Neles Tebay, Pr
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur sebagai lembaga pendidikan
diharapkan punya banyak kegaitan ilmiah. Saya melihat bahwa apa yang akan kita
diskusikan ini sangat bermakana, karena penulisnya adalah pelaku sejarah Punya
arti bagi perkembangan Gereja di Lembah Balim. Pater Frans adalah pelaku yang
mengukir sejarah itu. Apa yang ditulis tidak terlepas dari pengalamannya
sebagai pelaku sejarah. Apa yang dia buat dan lihat itulah yang ditulisnya.
Sejarah Gereja katolik yang disusun itu adalah sejarah misi. Bgaimana
Kristus diwartakan di Lembah Balim. Misionaris datang tidak membawah Alllah ke
Papua tetapi ditarik oleh Allah yang dihidupi dan dipahami oleh orang
Papua. Bagaimana Allah hadir dan berkarya dalam budaya setempat. Dalam
budaya Balim ada nilai unggul sebagaimana ada dalam benih benih Injil. Ini
menjadi indicator bahwa di Papua ada juga nilai-nilai unggul.
Pastor Frans Lieshout, OFM cukup
rendah hati dan adaptasi dengan umat, maka ia menemukan nilai-nilai itu. Hal
itu bahwa dalam suku-sua lain juga ada nilai unggul. Ini juga bisa menjadi
bahan belajar untuk mashasiswa dan para pastor. Kita ditantang untuk
mendengarkan sambil belajar budaya masyarakat setempat. Dengar apa yang
mereka katakan dan apa yang ada di balikya. Ini adalah tantangan bagi kita.
Bagi para pastor orang Papua, hal ini menjadi modal dasar bagi anda kalian
melihat nilai unggul dalam budaya kita maisng-masing sebagaimana yang
dituangkan buku ini. Penting bagi kita untuk diketahui bersama bahwa
dalam setiap budaya Papua ada nialai-nilai unggul. Sejarah Gereja Katolik, maka
perspektif misionaris juga masuk. Kalau oleh soerang Balim pasti perspektifnya
juga berbeda. Mereka akan bertanya bagaimana reaksi kami? Dengan hal ini
menjadi tantangan bagi teman-teman dari Balim untuk bagaimana memberi respon
terhadap sejarah perkembangan Gereja di Lembah Balim. Kita punya 2 perpspektif
sejarah,menurut siapa? Terima kasih untuk Pastor Frans sudah menulis sebagai
ungkapan rasa cinta terhadap umat Balim. Lebih jauh itu menjadi bentuk ungkapan
cinta Pater untuk kita semua.
BEDAH BUKU
Diawali dengan pembacaan Curicum Vitae yang dituangkan dalam buku oleh
moderator; Drs. Abdon Bisei M.Hum. Menurutnya baca buku sejarah
dapat ditinjau dari dua sisi yaitu; Pertama titik ideologi, untuk
kepentingan siapa buku ini ditulis?
Penerimaan akan apa yang terjadi.
Ketika dibaca bisa saja mendatangkan kesenangan dan jengkel, tetapi bagaimana
bisa dipikirikan untuk masa depan.
Kedua, ditulis oleh mereka yang
menang perang, tetapi kita lupa bahwa butuh budak untuk mengelilingi.
Ketika membaca buku pater Frans, pada halaman 127 diuraikan bahwa satu
orang yang melawan pemerintah &an Gereja, dibunuh, oleh pater ditulis
sebagai Pahlawan. Fransiskus berpesan kepada para pengikutnya bahwa kita
pergi untuk temukan Allah dalam pewartaan dan tinggal dengan mereka. Pater
Frans Lieshaout,OFM mengawali pembicaraanya dengan mengucapkan terima kasih
kepada Pater Dr. Neles Tebay, Pr, para pembesar yang hadir dan
calon-calon pastor atas waktu dan kesempatan untuk memperkenalkan buku
ini. Buku ini cukup tebal dan hurufnya besar. Ada 2 judul: ..” dan simbol.
Penulisnya seorang pastor, OFM ungkapan kebanggaan sebagai aggota fransiskan.
Menurutnya sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah laporan
arsip di keuskupan Jayapura, pengalaman senidri, dokumen para misionaris
lainnya dan bantuan banyak pihak.
Menurut P. Frans Lieshout,OFM
buku ini ditulis pertama-tama karena banyak orang Balim yang
berkeinginan untuk mengetahui tentang sejarah awal mula perkembangan Gereja di
Lembah Balim. Sejarah keselamatan masyarakat itu sangat manusiawi. P.Frans Lieshout,OFM
mengharapkan bahwa suatu ketika akan ada juga putra daerah menulis
sejarah yang sama dari perspektif masyarakat. Dan mudahan memperbaiki bahasa
sesuai bahasa Indonesia. Tahun 2000, arsip menjadi kurus, tidak ada lagi
laporan dari pastor-pastor. Di jaman HP yang beredar begitu laris tidak
ada lagi yang berniat untuk mencatat.
Isi buku sejarah Gereja di Balim: Sejarah dilihat dalam konteksnya, lebih
dahulu diuraikan soal berbagai ekspedisi yang dilakukan di Lembah Balim.
Ekspedisi dengan arogan untuk merubah nama gunung, kita beri nama yang
sama Puncak Trikora, seakan-akan masyaakat tidak punya nama asli untuk itu.
Diuraikan juga mengenai kecelakaan pesawat, dan sejak saat itu terjadi suatu
lomba dari pemerintah dan Gereja untuk biar masuk di Lembah agung itu. CAMA
(Christian and Missionary Alliance) yang pertama kali masuk. Katolik pada 1958
oleh Patr Arie Blokdijk, OFM yang sebelumnya bertugas di Kerom dan berjalan
kaki ke Lembah Balim lewat kampung Molof dan selanjutnya ke Membramo. Namun ia
tidak sampai di Lembah Balim karena perahu yang dibeli dari masyarakat untuk
perjalanan mereka hanyut terbawa banjir. Akhirnya P. Kammerer, OFM bersama guru
Martinus Songgonau, Yonas Mote dan tuju pembantu lainnya berangkat dari
Enarotali/Kugapa ke arah timur.
Pada tanggal 5 Januari 1954 mereka tiba di sungai Yugume (Balim Timur).
Mereka sampai di sini saja dan tidak melanjutkan perjalanannya karena para
pengantarnya tidak sanggup lagi untuk jalan serta takut dibunuh oleh orang
Dani. Pater Arie Blokdijk,OFM akhirnya berhasil masuk ke Balim dan mendapat
sebuh tenda sekutu. Berbeda, biasanya diperlihatkan pastor datang dengan salib,
jubah, karena Tuhan mencipatkan manusia, suku-suku dengan bahasanya
sendiri-sendri. Orang harus mulai dengar dan lihat. Menurut kepala suku Kurulu
( salah satu kepala suku di Balim ), Ia mengambil air dan memberi minum kepada
misionaris itu sebagai ungkapan bahwa kamu harus minum, kamu harus terima dari
kami dulu. Baru kamu omong apa yang kau mau ceritakan perihal pewartaan yang
kamu bawa.
Orang Balim, bisa buat kesalahan
besar, tetapi mereka bisa mengampuni. Setelah semua itu, dapat dibuka pos misi,
diusahakan menjadi shabat seorang kepala suku. Di situ mulailah Gereja dengan
kehadirannya mampu untuk belajar bahasa setempat. melihat orang-orang setempat
dan mulai membuat pelayanan sederhana; misalya, melalui pengobatan. Dalam
perkembangannya satu setengah tahun kemudian, dimulai dengan pendidian formal.
Ini menjadi suatu pendekatan khas
gereja Katolik di mana-mana. Dengan demikian masyarakt mau maju maka pendidikan
formal adalah hal mutlak. Dibukalah kursus pertanian, kursus katekis, dengan
sangat sederhana,tuhkan tetapi dengan semangat besar, aka mulailah pewarataan,
walaupun waktu itu tidak ada kuliah. Dibutuhkan kreatifitas yang besar.
Tahun 1970, mulai berkembang semangat masyarakat untuk menyadari
kehadiran Greja muda itu. Ada kesadaran yang timbul bahwa gereja menjadi milik
mereka sendiri. Kita adalah Gereja. Dan ini cocok dengan kepribadian orang
Balim yang suka mandiri. Di kelompok pewrata/Pembina Umat, ada 9 paroki setiap
paroki mempuna cerita dan kesan awal tersediri. Dibentuklah Badan Musawarah
Paroki, sehingga orang yang sudah dibaptis juga bisa menjadi anggora BM.
Hal ini sangat membantun masyaraakt, untuk menyatukan Injil dengan program
hari-hari perdausaraan: dialog antara adat dan Injil. Hasil yang dirasakan
adalah semakin berkembangnya gereja hingga sekarang.
Hal yang istimewa aldalah meskipun uskup dulu melarang untuk membuka pos di
daerah protestan, tetapi tanpa usaha dari misioanris terjadilah bahwa daerah
Ilugua, Gume-Tiom, Kurima, Saminage, dibuka oleh Roh Kudus melalui kepala
suku. Sebagaimana dengan subj udul yang diuraikan oleh P.Frans
Lieshout,OFM; Bilamana benih injil ditaburkan di sembagaran tempat, tanpa menghiraukan
budaya Balim, maka sama dengan menarburkan benih di semak berduri. Siapa saja
yang bertugas di Balim tidak mungkin mengabaikan budaya masyarakat. Menurutnya
kebudayaan adalah kekayaan spiritual. Katolik bertitik tolak dari pandangan
bahwa sebelum Injil masuk sudah ada bekas kaki Allah. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Yesus bahwa Ia tidak datang untuk meniadakan nilai budaya
melainkan untuk menyempurnakannya.
Ada pengalaman indah yang dikisahkan. Waktu ekspedesi Lorenzt, dengan
ratusan orang jalan kaki dari Asmat menuju ke Pegunungangan. Mereka khawatir
kalau bertemu dengan orang-orang jahat. Mereka membawa pasukan untuk mengawal
perjalanan ini. Setelah mereka tiba dan berhadapan dengan orang pegungugnan.
Mereka telanjang, hitam, dan militerpun siaga. Justru apa yang terjadi orang
gunung datang dan jabat tangan. Anggota ekspedisi heran karena disalami. Orang
primitif justru tidak berhati jahat. Dihidangkan juga daging babi. Kepala
ekspedisi diminta untuk membagi, tapi dia cicipi dulu. Akhirnya, ditegur karena
harus membagi kepada teman serombongan. Setelah tinggal beberapa lama bersama
masyarakat setempat, mereka menemukan bahwa orang pegunungan punya teknologi
pertanian. Mereka lebih heran lagi. Karl Muhler juga menuturkan bahwa dulu
orang Papua boleh merasa berbangga, karena sudah ada pertanian di sana. Ada
rasa kagum yang mendalam. Rasa kagum itu, terus dipupuk. Dunia luar banyak
belajar dari pegunungan ini. Rugi kalau hilang Program gereja dan pemerintah,
kurang memperhitungkan kearifan budaya lokal ini.
Ada kesenjangan yang nampak yaitu sekarang perhatian gereja keuskupan lebih
difokuskan pada OMK, padahal orang tua juga dirasa penting. Karena
seakan-akaan pohon yang dipotong dari akar. Ada konflik yang nampak antara
gereja Katolik dan Jayawijaya. Tahun 1970 pemerintah menginstruksikan untuk
melepaskan budaya dan dilepaskan oleh masyarakat. Gereja Katolik protes akan
hal demikian, sehingga pemerintah provinsi juga melibatkan diri.
P.Frans Lieshout,OFM mengangkat contoh yang menonjol adalah tantangan poligami.
Menurutnya setelah 50 tahun penginjilan poligami tidak berkurang berarti. 30%
bapak keluarga Balim poligami, ibu -ibu 50% hidup dalam poligami.
Perintah Yesus untuk membaptis, kecuali yang 40% poigami. Sekarang ini
25% yang sudah dibaptis poligami lagi. Berdasarkan aturan Gereja mereka
tidak boleh dibaptis dan komuni lagi. Timbul pertanyaan apakah ada perintah
Yesus yang melarang orang-orang yang poligami untuk tidak dibaptis?
Tahun-tahun terakhir, ada gejala
yang sangat berpengaruh yatiu, sekarang tidak ada pastor awam lagi. Jadi
pelayanan pastoral hanya dijalankan oleh seorang imam. Akibatnya ada 9 paroki
di dekenat Jawawijaya, 6 paroki tidak mempunyai pastor. Pelayanan juga
hanya difokuskan pada sakramental, sekarang hampir separoh umat katolik yang
belum dibaptis, tidak mendapat pelayanan lagi. Orang Muda Katolik
dirangkul dan orang tua dianaktirikan. Defakto inkulturasi: studi budaya dan
bahasa hampir tidak lagi dihidupi. Ini tidak terjadi lagi.
Pastor GONZA: Kesan pertama pater frans sangat mengesankan. Bahasa sebagai
jalan memahami pikiran masyarakat setempat. Waktu membaca buku ini saya merasa
senang, karena bisa membaca dan bisa melihat. melihat teks....Kita tahu sejarah
dan selanjutnya bisa membuat apa dengan Gereja ke depan. Ini membutuhkan
kerja keras dan melahirkan banyak penderitaan karena tidak bisa harus
ditulis.
Kekuatan
misioanaris mereka adalah pola pendekatan mereka. Pendekatan inkulturatif
sangat menentukan pelayanan. Bahasa adalah tantangan dan tuntutan yang harus
dipenuhi dan dikuasai. Pembaptisan baru dilakukan setelah 4-5 tahun. Mereka
bina dulu baru baptis.
P.Frans Liesthout memberi judl buku
tersebut: SEJARAH GEREJA KATOLIK DI LEMBAH BALIM- PAPUA: KEBUDAYAAN BALIM TANAH
SUBUR BAGI BENIH INJIL.
Judul ini seakan memberi arti penting bagi kita supaya tetap menghargai dan menggali kebudayaan Balim itu bagi benih Injil. Ada banyak pedoman hidup baik dan jatih diri orang Balim yang perlu digali. Judul itu juga mengungkapkan kegelisahan ketika tenaga pastoral kurang menghayati inkulturasi sebagai kewajiban dalam penginjilan. Tenaga-tenaga pastoral yang ada di Lembah Balim amat kurang (9 paroki hanya dilayani oleh 3 imam dan 1 suster).
Lorens Resi Purek, OFM
Biara Sang Surya
Jln. Sosiri no 7 Abepura
Jayapura- Papua
Telp: 0967 581844
Judul ini seakan memberi arti penting bagi kita supaya tetap menghargai dan menggali kebudayaan Balim itu bagi benih Injil. Ada banyak pedoman hidup baik dan jatih diri orang Balim yang perlu digali. Judul itu juga mengungkapkan kegelisahan ketika tenaga pastoral kurang menghayati inkulturasi sebagai kewajiban dalam penginjilan. Tenaga-tenaga pastoral yang ada di Lembah Balim amat kurang (9 paroki hanya dilayani oleh 3 imam dan 1 suster).
Lorens Resi Purek, OFM
Biara Sang Surya
Jln. Sosiri no 7 Abepura
Jayapura- Papua
Telp: 0967 581844
Ada ungkapan yang biasa dilontarkan
oleh masyarakat luar tentang Kabupaten Jayawijaya, khususnya Kota Wamena, “
Kalau anda ke Tanah Papua namun tidak menginjakkan kaki di Kota Wamena, maka
belum lengkaplah perjalanan anda di Tanah Papua.” Atau dengan ungkapan lain, “
Jangan pernah mengatakan bahwa anda sudah pernah ke Papua kalau
belum menginjakkan kaki di Wamena dan menikmati keindahan alamnya dan
menyaksikan berbagai atraksi budayanya yang sangat terkenal.”
A. Letak dan keadaan Geografis
Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten lama di Provinsi
Papua ( dulu bernama Irian Jaya). Kabupaten ini beribu kota di Wamena yang
terletak di Lembah Baliem, tepat di jantung Papua. Lembah baliem sangat
terkenal, mungkin lebih terkenal ketimbang Jayawijaya atau Wamena. Dalam
literature asing Lembah Baliem juga sering disebut sebagai Lembah Agung.Kabupaten
Jayawijaya terletak antara 138 30’ sampai 1390 40’
Bujur Timur, dan antara 3045’ sampai 4020’ Lintang
Selatan. Kabupaten ini merupakan daerah lembah dan pegunungan, tidak
bersentuhan dengan daerah Pantai.Batas-batas wilayah Kabupaten Jayawijaya
adalah :
a. Utara
: Kab. Membramo Tengah, Yalimo, dan Tolikara
b. Selatan : Kab.Nduga dan Yahukimo
c. Timur : Kab.Yahukimo dan Yalimo
d. Barat : Kab.Nduga
b. Selatan : Kab.Nduga dan Yahukimo
c. Timur : Kab.Yahukimo dan Yalimo
d. Barat : Kab.Nduga
Sebelum pemekaran luas
wilayah Kabupaten Jayawijaya adalah 52.916 kilometer atau sekitar 12,58 % dari
wilayah Provinsi Papua. Namun, setelah pemekaran yang terakhir pada tahun 2008
menjadi 8.496 kilometer persegi.
B. Topografi dan Iklim
Wilayah kabupaten Jayawijaya bervariasi, dari dataran rendah
sampai pegunungan. Sekitar 80 % daerah ini tidak dihuni. Kemiringannya sekitar
65%, ketinggian antara 1500-5000 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar
terdiri dari gunung-gunung, bukit dan lembah yang memiliki tanah yang sangat
subur.Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena
puncak-puncak salju abadinya, antara lain : Puncak Trikora ( 4.750 m), Puncak
Mandala ( 4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). Pegunungan ini amat menarik bagi
wisatawan dan peniliti ilmu pengetahuan alam karena puncaknya yang selalu
ditutupi salju walaupun berada di daerah tropis. Lereng gunung yang terjal dan
lembah sungai yang sempit dan curam menjadi cirri khas pegunungan ini. Cekungan
lembah sungai yang cukup luas hanya terdapat di Lembah Baliem Barat dan Lembah
Baliem Timur (Wamena).Vegetasi alam hutan tropis basah di dataran rendah member
peluang pada hutan iklim sedang berkembang cepat di lembah ini.Temperatur udara
bervariasi antara 140 samapai 260 dan
dibeberapa tempat sering terjadi hujan es. Curah hujan cukup tinggi rata-rata
190 mm tiap bulan dan berlaku sepanjang tahun.
C. Flora dan Fauna
Kabupaten Jayawjaya banyak memiliki spisies baik flora maupun
fauna . Kabupaten Jayawijaya menjadi habitat yang baik bagi berbagai jenis
anggrek langka dan tanaman lain. Spesies burung bisa ditemui burung serell,
cenderawasih, Kaka tua, nuri, belibis, kasuari dan lain sebagainya.Beberapa
spesies hewan langka yang terncam punah di daerah ini antara lain, udang
serack, burung serell, cenderawasih merah, anggrek, buah merah dan lebah madu. Sejarah
Kabupaten Jayawijaya berkaitan erat dengan sejarah perkembangan gereja di
wilayah ini. Seperti daerah lainnya di Papua dulu Jayawijya merupakan daerah
yang terisolasi dari daerah luar. Tetapi sejak tahun 1950-an para Misionaris
dari luar Negeri mulai berdatangan dan melakukan penginjilan di daerah ini.Lembah
baliem ditemukan secara tidak sengaja oleh Richard Archbold, ketua tim
ekspedisi yang disponsori oleh American museum of Natural History melihat
adanya lembah hijau luas dari kaca jendela pesawat yang mereka tumpangi pada
tanggal 23 Juni 1938. Tim ekspedisi ini mendarat di Danau Habema dari sana
mereka berjalan menuju lembah Baliem melalui lembah Ibele.Pada tanggal 20 april
1954, sejumlah misionaris dari Amerika Serikat tiba di lembah Baliem termasuk
Dr. Myron Bromley, tim misionaris ini mendarat di sungai Baliem tepatnya di
desa Minimo dengan tujuan utama memperkenalkan agama Nasrani kepada Suku Dani
di Lembah Baliem. Stasiun pertama misionaris didirikan di Hitigima. Nama
Asli Wamena dulunya adalah “Amoa” yang berarti tempat bertemu orang banyak.
Namun ada beberapa pendapat mengenai asal usul nama Wamena . ada yang
berpendapat Nama Wamena berasal dari Bahasa Suku Dani yakni Wa dan Mena yang
berarti babi jinak, itu sebabnya ciri khas cenderamata kota ini adalah foto
atau gambar seorang wanita yang sedang menyusui seekor babi. Ada juga pendapat
mengenai kata Wamena berhubungan dengan kedatangan tim pertama Misionaris ke
lembah ini, tugas pertama mereka adalah membangun lapangan terbang di dekat
kali Uwe (Uweima), ini kemudian timbul pendapat yang mengatakan asal mula kata
Wamena berasal dari kata Uweima artinya pinggir kali Uwe, yang oleh pendatang
diucapkan dengan dialeg yang salah menjadi Wamena. Pendapat ini juga belum
tentu benar karena dalam peta yang dibuat oleh ekspedisi Archbol
(1938) kali Uwe juga disebut Wamena. Sementara dalam versi lain A. Akua menjelaskan dalam bukunya bahwa orang Wio, nama yang
umum digunakan untuk daerah Lembah Baliem itu sendiri tidak mengenal suatu
tempat dengan nama Wamena. Nama itu diberikan pada tahun 1957-1958 oleh pendeta
Jerry Rose yang tinggal dekat lapangan terbang sebagai pengurus barang milik
CAMA, pada suatu hari ia melihat mama kandung Kain Wenehule Hubi,Toarekhe Itlay
menetekkan anak babinya sambil berkata “yi wam ena oo..” (ini babi piara) oleh
karena itu ia menyebut tempat ini Wamena. Namun dalam catatan arsip gereja
Katolik pendeta Rose mulai berdomisili di Wamena sejak bulan September 1960 dan
tidak pada tahun 1957-1958. Ada pula yang mengatakan Wamena berasal dari kata
Wam-Ena yang berarti sedang memelihara babi. Kabupaten
Jayawjaya secara administrative terdiri dari 11 Distrik, 116 kampung, 1
kelurahan (BPS Kabupaten Jayawijaya ,2010). Distrik-distrik itu antara lain :Distrik
Wamena, Distrik Assolokobal, Distrik Walelagama, Distrik Hubikosi, Distrik
Palebaga, Distrik Asologaima, Distrik Musatfak, Distrik Kurulu, Distrik
Bolakme, Distrik Wollo, dan Distrik Yalengga.Jumlah penduduk Kabupaten
Jayawijaya berdasarkan data Bapeda jayawijaya than 2009 adalah 193.718 jiwa.
Sedangkan berdasarkan BPS hasil sensus 2010 adalah 199.557 jiwa yang terdiri
dari 102.581 jiwa laki-laki dan 96,976 jiwa perempuan. Dengan luas wilayah
8.496 kilometer maka kepadatan penduduknya kira-kira 23 jiwa per kilometer
persegi.Terdapat 3 suku besar yang mendiami Jayawijaya yaitu Suku Ngalum, Suku
Dani, Suku Yali dan suku-suku lainnya. Sedangkan untuk pendatang banyak dari
Suku Makassar, Bugis, Toraja, Jawa, Batak,Minang, Madura dll.
Agama- Agama mayoritas penduduk adalah Kristen. Mayoritas penduduk Asli memeluk Kristen karena pengaruh misionaris yang sudah lama dan focus untuk menyebarkan injil di Papua, sedangkan penduduk yang beragama Islam kebanyakan adalah pendatang, tetapi ada beberapa daerah yang masyarakat pribumi memeluk Islam Seperti di Distrik Walesi, Megapura, Hitigima, Air Garam dll.
Umbi-umbian merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya.
Umbi-umbian ini disebut juga Hipere. Masyarakat mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani. Objek WisataJalan-jalan di Wamena sebaiknya memiliki
rencana yang jelas. Kita harus mempertimbangkan juga harga-harga yang sangat
tinggi di sini. Kita bisa memilih mobil, motor, sepeda , becak atau angkutan
umum. Untuk rental mobil sehari biasanya 800.000, sedangkan harga bensin eceran
20.000/ liter, naik ojek ongkos sekali jalan dalam kota biasanya 10.000 , becak
perjalanan dalam kota 10.000. sedangkan angkutan umum dalam kota adalah 4.000. Jangan
panik ketika mendengar harga barang-barang yang tinggi, ini disebabkan akses
satu-satunya dari Jayapura ke Wamena hanya melalui jalur udara. Dari Jayapura
biasanya naik pesawat Trigana Air, Walesi Air atau Merpati Nusantara dengan
ongkos Jayapura-wamena sekitar 700.000-900.000 atau bisa juga menggunakan
pesawat Hercules dengan ongkos yang lebih murah tapi penumpang harus
berdiri. Sedangkan menuju kabupaten-kabupaten lain di Pegunungan Tengah
tidak semuanya bisa langsung dari Jayapura, harus ke Wamena dulu kemudian dari
Wamena ditempuh dengan menggunakan peswat-pesawat perintis dan sebagian ada
yang bisa ditempuh dengan jalur darat. Beberapa wisata Alam di
Jayawijaya.
1. Jembatan Gantung Wesaput
Jembatan gantung ini terletak di Wesaput, sekitar 2 kilometer di
Selatan Wamena. Lokasi ini bisa ditempuh dengan mobil, motor maupun dengan
angkutan umum. Jembatan gantung ini pada mulanya dijalin dari rotan kemudian
diperkuat dengan kawat baja.mask ke area ini tidak dipungut biaya.
.2. Telaga Anegara
Telaga ini memiliki panjang 1 kilometer dan lebar 100 meter.
Selain pemandangannya yang indah, daya tarik telaga ini adalah Desa
Anegara yang berada di dekat telaga. Telaga ini terletak 38 kilometer dari Kota
Wamena. Dan dapat dicapai dengan 45 menit berkenderaan.
3. Gua Kontilola
Gua ini memiliki stalagmite dan stalagtit yang sangat indah. Di
dasar gua terdapat sungai dengan air yang mengalir. Gua ini terletak di Desa
Abusa, Distrik Kurulu, sekitar 20 menit perjalanan dari kota Wamena.
4. Gua Wihuda
Gua ini bercabang di dalamnya. Cabang sebelah kiri memiliki
panjang sekitar 100 meter, sedangkan cabang sebelah kanan panjangnya sekitar
905 meter. Gua ini terletak di Desa Wosilimo,Distrik Kurulu.
.5. Telaga Biru Maima
Telaga biru Maima diyakini mengandung misteri tentang asal usul
lahirnya manusia di Lembah Baliem. Telaga biru Maima yang dalam bahasa daerah
berarti “tempat di bawah dimana ada air”. Airnya selalu berwarna biru
kehijau-hijauan.6. Sumber Air Garam di
Atas Gunung
Berada di desa Jiwika dapat di tempuh dari Kota Wamena selama 20 menit. Kemudian untuk ke tempat air asin butuh waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam dengan berjalan kaki. Wisata Budaya.
Berada di desa Jiwika dapat di tempuh dari Kota Wamena selama 20 menit. Kemudian untuk ke tempat air asin butuh waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam dengan berjalan kaki. Wisata Budaya.
1. Mumi Aikima
Merupakan manusia yang diawetkan, disebut dengan mumi Aikima
karena terleak di Desa Aikima, Distrik Kurulu. Berjarak sekitar 5 Km dari
Wamena, bisa ditempuh dengan kendraan roda empat atau roda 2, pemandangan yang
bagus akan kita dapatkan sepanjang perjalanan ke sana. Mumi Aikima berasal
dari seorang kepala suku besar yang pernah menguasai lembah Baliem yang bernama
Werupak Elosak. Kepala suku ini dikenal ramah dan bijaksana sehingga untuk
menghormatinya maka jasadnya tidak dibakar atau dikubur melainkan diawetkan.
Selain di Aikima terdapat 2 mumi lain, salah satunya terletak di Desa Jiwika
(15 KM dari Wamena) yang berusia sekitar 300 tahun dan di Desa
Pumo/Asologaima ( 33 KM dari Wamena ) yang berusia sekitar 250 tahun.
2. Museum Pilamo
Museum ini terletak di desa Wesaput ,di dalam Museum ini
memamerkan beberapa produk budaya dari masyarakat Lembah Baliem. Museum ini
dibka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore seiap hari. Pada hari libur dibuka
sampai jam 4 sore. Koleksi museum ini diantaranya senjata-senjata tradisional yang
digunakan dalam perang antar suku pada masa lampau. Senjata tersebut dinamakan
Apwerek.
3. Patung Ukumiarek
Patung yang sangat dihargai oleh penduduk Wamena ini adalah patung
kepala suku yang terbunuh ketika terjadi perang antar suku Asokobal dan Suku
Wiles. Patung ini merupakan symbol keberanian masyarakat Lembah Baliem yang
berpartisipasi pada pilihan kebebasan penduduk pada tahun 1969. Patung
Ukumiarek berwujud seorang laki-laki yang memakai Horim ( Sarung untuk menutup
aurat dari bahan akar liar) serta ikat tradisional yang merupakan symbol
keberanian seorang pejuang Lembah Baliem. Tangan kanan Patung ini memegang
sebuah kapak batu sedangkan tangan kirinya memegang sebuah tombak.
4.Festival Lembah Baliem
Festival Lembah baliem
mempertunjukkan budaya suku-suku di Lembah Baliem. Festival ini sangat terkenal
sampai ke Mancanegara sehingga biasanya banyak menarik turis Mancanegara pada
bulan Agustus. Festival ini dilaksanakan menyambut tanggal 17 Agustus. Dalam
festival ini dipertunjukkan atraksi perang-perangan dan juga berbagai atraksi
yang menjadi tradisi suku-suku di sekitar Lembah Baliem seperti lomba pacu
babi, lomba memainkan alat music dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar